Perkawinan pada Masa Kolonial Hindia-Belanda


Perkawinan dalam masyarakat Indonesia pada akhir abad 19 sebagaimana tercatat dalam sejarah banyak menerapkan konsep “kawin gantung”. Kawin gantung bermakna perkawinan yang sah tetapi suami istri belum tinggal serumah atau perkawinan yang akan diresmikan secara penuh ketika kedua atau salah satu pasangan telah dewasa.  Perkawinan dilakukan khususnya dengan calon mempelai wanita yang masih berusia dini, tetapi dengan menangguhkan hubungan badan hingga sang istri menunjukkan tanda telah dewasa yang diasumsikan dengan menstruasi.  

Perkawinan dibawah umur dan kawin gantung banyak merebak di kalangan masyarakat Indonesia karena telah menjadi sebuah dogma bagi orang tua yang memiliki anak perempuan, dengan berbagai faktor dan motif. Blackburn dalam artikelnya, mengutip dari laporan tahun 1914 oleh Bupati Serang, Raden Achmed Djajadiningrat,  menyebutkan beberapa fenomena pernikahan dibawah umur pada masa itu, antara lain:
  1. Perkawinan dengan anak perempuan berusia berusia 7-10 tahun datang dari inisiatif orang tua anak perempuan tersebut, dengan motif menikahkan anak perempuan mereka secepatnya.
  2. Bagi orang tua anak perempuan yang berprofesi sebagai petani atau pedagang, mereka mengharapkan adanya menantu laki-laki yang dapat membantu mereka dalam pekerjaannya, sementara bagi kalangan berlatar belakang agamis, mereka mengharapkan menantu laki-laki dari golongan santri untuk membimbing anak perempuan mereka. 
  3. Paradigma perkawinan usia dini untuk menjaga anak perempuan dari hawa nafsu, mencegah anak tersebut memilih pasangan dari hati bukan dari kepala (akal sehat), masyarakat di Serang pada khususnya menganggap bahaya perempuan gadis dewasa dan janda karena pikiran mereka telah dirasuki setan (hawa nafsu).
Fenomena penolakan terhadap perkawinan usia dini mulai mendapat tempat ketika beberapa gerakan nasionalis mulai menyuarakan ide-ide Kartini pada tahun 1911. Gerakan Nasionalis seperti Young Java dan Sarekat Islam mengambil sikap untuk menentang poligami, perkawinan anak, serta praktek seks bebas kaum Eropa yang menyeret perempuan Indonesia dalam praktek pergundikan dan pelacuran. Young Java bahkan mewajibkan anggotanya untuk menerapkan perkawinan secara monogami, dan melarang anggotanya untuk menikah sebelum umur 25 tahun bagi pria, dan sebelum umur 18 tahun bagi wanita.  Tahun 1928, seorang nasionalis sekularis pimpinan Indonesische Studieclub di Surabaya, Dr. Soetomo, menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Perkawinan dan Perkawinan Anak- Anak”. Buku ini merupakan satu-satunya buku karya orang Indonesia yang memuat tentang masalah pernikahan anak. Tahun 1930 sebuah gerakan perempuan “Isteri Sedar”, dalam setiap jurnalnya mengecam perkawinan paksa dan perkawinan anak-anak. Mereka berpendapat bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk mengendalikan hidup mereka sendiri, serta perkawinan anak dapat membahayakan kesehatan istri dan keturunannya.

Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kemudian menerapkan Pasal 288 revisi KUHP tahun 1915 untuk melindungi istri-anak dari berhubungan badan sebelum ia mengalami menstruasi pertamanya. Pasal tersebut berbunyi:  

“(1) Barang siapa yang bersenggama dengan seorang perempuan (dimaksud istri) dalam perkawinan, yang diketahui atau yang dapat diduga belum dapat diajak berhubungan suami-istri (huwbaar), akan dihukum penjara paling lama 4 tahun; (2) Apabila (persetubuhan) itu mengakibatkan luka dapat divonis penjara paling lama 8 tahun; (3) Apabila menyebabkan kematian hukuman penjara paling lama 12 tahun”

Pada tahun 1925, pemerintah kolonial atas nama Gubernur Jenderal D. Fock mengirimkan surat edaran terkait dengan pelarangan perkawinan anak. Surat edaran tersebut juga mewajibkan jajaran residen untuk mengirim laporan ke pusat setiap enam bulan tentang jumlah perkawinan anak yang dilangsungkan di setiap residen. Pada perkembangannya, surat edaran ini tidak dapat diterapkan karena kesulitan penerapannya pada masyarakat luas. Para Penghulu tidak dapat melakukan verifikasi umur calon mempelai karena keterbatasan data yang dimiliki dan tidak ada patokan pasti untuk menilai “kedewasaan”. Terlebih tekanan dari pemilik hajat yang telah menyiapkan upacara perkawinan menjadikan para penghulu berada dalam posisi dilematis. Di sisi lain, pelarangan perkawinan dini dianggap sebagai “penghinaan” dan pembatasan hak seorang ayah untuk menikahkan putrinya. 

Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Hindia-Belanda melaksanakan sensus penduduk dan mengklasifikasi penduduk dalam tiga kelompok umur: bayi, non-dewasa, dan dewasa (infancy, non-adult, adult). Pemerintah pada saat itu mendapat kesulitan pada batas dimana dikatakan non-dewasa dan dewasa, karena maraknya pernikahan dini yang terjadi. Menurut term pemerintah saat itu, sangat mustahil untuk melabeli anak yang telah menikah dengan status “anak”, karena pernikahan dianggap sebagai suatu masa peralihan status menjadi dewasa. Hasil sensus tahun 1930 menunjukan “perkawinan non-dewasa” banyak terjadi di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, diikuti daerah di Jawa Timur. 

Menghadapi maraknya “pekawinan non-dewasa” sebagaimana tercatat dalam sensus penduduk di atas, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Termasuk dalam rancangan undang-undang ini adalah menetapkan batas umur untuk melaksanakan perkawinan, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Meskipun mendapat dukungan dari beberapa organisasi perempuan, rancangan undang-undang ini mendapat penolakan besar dari beberapa organisasi muslim dan partai nasionalis karena dipandang sebagai campur tangan pemerintah terhadap urusan pribadi. Rancangan undang-undang ini kemudian ditarik kembali hanya beberapa bulan setelah memicu pergolakan masyarakat. Blackburn menyatakan peristiwan ini sebagai “the end of its efforts at social reform in the area of Indonesian marriage practice”.


Referensi
Bemmelen, Sita Thamar van, & Mies Grijns. Relevansi Kajian Hukum Adat: Kasus Perkawinan Anak dari Masa ke Masa, artikel dalam Mimbar Hukum, vol. 30 nomor 3 2018
Blackburn , Susan, & Bessell Sharon. Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia, artikel dalam Jurnal Indonesia, vol. 63, Cornell University Southeast Asia Program, 1997.
Locher-Scholten, Elsbeth. Women and the Colonial State. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indiƫ, Kitab Oendang-Oendang Hoekoeman bagi Hindia-Belanda, Balai Pustaka, 1921