Latest Posts on Iqra'


Perkawinan dalam masyarakat Indonesia pada akhir abad 19 sebagaimana tercatat dalam sejarah banyak menerapkan konsep “kawin gantung”. Kawin gantung bermakna perkawinan yang sah tetapi suami istri belum tinggal serumah atau perkawinan yang akan diresmikan secara penuh ketika kedua atau salah satu pasangan telah dewasa.  Perkawinan dilakukan khususnya dengan calon mempelai wanita yang masih berusia dini, tetapi dengan menangguhkan hubungan badan hingga sang istri menunjukkan tanda telah dewasa yang diasumsikan dengan menstruasi.  

Perkawinan dibawah umur dan kawin gantung banyak merebak di kalangan masyarakat Indonesia karena telah menjadi sebuah dogma bagi orang tua yang memiliki anak perempuan, dengan berbagai faktor dan motif. Blackburn dalam artikelnya, mengutip dari laporan tahun 1914 oleh Bupati Serang, Raden Achmed Djajadiningrat,  menyebutkan beberapa fenomena pernikahan dibawah umur pada masa itu, antara lain:
  1. Perkawinan dengan anak perempuan berusia berusia 7-10 tahun datang dari inisiatif orang tua anak perempuan tersebut, dengan motif menikahkan anak perempuan mereka secepatnya.
  2. Bagi orang tua anak perempuan yang berprofesi sebagai petani atau pedagang, mereka mengharapkan adanya menantu laki-laki yang dapat membantu mereka dalam pekerjaannya, sementara bagi kalangan berlatar belakang agamis, mereka mengharapkan menantu laki-laki dari golongan santri untuk membimbing anak perempuan mereka. 
  3. Paradigma perkawinan usia dini untuk menjaga anak perempuan dari hawa nafsu, mencegah anak tersebut memilih pasangan dari hati bukan dari kepala (akal sehat), masyarakat di Serang pada khususnya menganggap bahaya perempuan gadis dewasa dan janda karena pikiran mereka telah dirasuki setan (hawa nafsu).
Fenomena penolakan terhadap perkawinan usia dini mulai mendapat tempat ketika beberapa gerakan nasionalis mulai menyuarakan ide-ide Kartini pada tahun 1911. Gerakan Nasionalis seperti Young Java dan Sarekat Islam mengambil sikap untuk menentang poligami, perkawinan anak, serta praktek seks bebas kaum Eropa yang menyeret perempuan Indonesia dalam praktek pergundikan dan pelacuran. Young Java bahkan mewajibkan anggotanya untuk menerapkan perkawinan secara monogami, dan melarang anggotanya untuk menikah sebelum umur 25 tahun bagi pria, dan sebelum umur 18 tahun bagi wanita.  Tahun 1928, seorang nasionalis sekularis pimpinan Indonesische Studieclub di Surabaya, Dr. Soetomo, menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Perkawinan dan Perkawinan Anak- Anak”. Buku ini merupakan satu-satunya buku karya orang Indonesia yang memuat tentang masalah pernikahan anak. Tahun 1930 sebuah gerakan perempuan “Isteri Sedar”, dalam setiap jurnalnya mengecam perkawinan paksa dan perkawinan anak-anak. Mereka berpendapat bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk mengendalikan hidup mereka sendiri, serta perkawinan anak dapat membahayakan kesehatan istri dan keturunannya.

Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kemudian menerapkan Pasal 288 revisi KUHP tahun 1915 untuk melindungi istri-anak dari berhubungan badan sebelum ia mengalami menstruasi pertamanya. Pasal tersebut berbunyi:  

“(1) Barang siapa yang bersenggama dengan seorang perempuan (dimaksud istri) dalam perkawinan, yang diketahui atau yang dapat diduga belum dapat diajak berhubungan suami-istri (huwbaar), akan dihukum penjara paling lama 4 tahun; (2) Apabila (persetubuhan) itu mengakibatkan luka dapat divonis penjara paling lama 8 tahun; (3) Apabila menyebabkan kematian hukuman penjara paling lama 12 tahun”

Pada tahun 1925, pemerintah kolonial atas nama Gubernur Jenderal D. Fock mengirimkan surat edaran terkait dengan pelarangan perkawinan anak. Surat edaran tersebut juga mewajibkan jajaran residen untuk mengirim laporan ke pusat setiap enam bulan tentang jumlah perkawinan anak yang dilangsungkan di setiap residen. Pada perkembangannya, surat edaran ini tidak dapat diterapkan karena kesulitan penerapannya pada masyarakat luas. Para Penghulu tidak dapat melakukan verifikasi umur calon mempelai karena keterbatasan data yang dimiliki dan tidak ada patokan pasti untuk menilai “kedewasaan”. Terlebih tekanan dari pemilik hajat yang telah menyiapkan upacara perkawinan menjadikan para penghulu berada dalam posisi dilematis. Di sisi lain, pelarangan perkawinan dini dianggap sebagai “penghinaan” dan pembatasan hak seorang ayah untuk menikahkan putrinya. 

Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Hindia-Belanda melaksanakan sensus penduduk dan mengklasifikasi penduduk dalam tiga kelompok umur: bayi, non-dewasa, dan dewasa (infancy, non-adult, adult). Pemerintah pada saat itu mendapat kesulitan pada batas dimana dikatakan non-dewasa dan dewasa, karena maraknya pernikahan dini yang terjadi. Menurut term pemerintah saat itu, sangat mustahil untuk melabeli anak yang telah menikah dengan status “anak”, karena pernikahan dianggap sebagai suatu masa peralihan status menjadi dewasa. Hasil sensus tahun 1930 menunjukan “perkawinan non-dewasa” banyak terjadi di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, diikuti daerah di Jawa Timur. 

Menghadapi maraknya “pekawinan non-dewasa” sebagaimana tercatat dalam sensus penduduk di atas, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Termasuk dalam rancangan undang-undang ini adalah menetapkan batas umur untuk melaksanakan perkawinan, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Meskipun mendapat dukungan dari beberapa organisasi perempuan, rancangan undang-undang ini mendapat penolakan besar dari beberapa organisasi muslim dan partai nasionalis karena dipandang sebagai campur tangan pemerintah terhadap urusan pribadi. Rancangan undang-undang ini kemudian ditarik kembali hanya beberapa bulan setelah memicu pergolakan masyarakat. Blackburn menyatakan peristiwan ini sebagai “the end of its efforts at social reform in the area of Indonesian marriage practice”.


Referensi
Bemmelen, Sita Thamar van, & Mies Grijns. Relevansi Kajian Hukum Adat: Kasus Perkawinan Anak dari Masa ke Masa, artikel dalam Mimbar Hukum, vol. 30 nomor 3 2018
Blackburn , Susan, & Bessell Sharon. Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia, artikel dalam Jurnal Indonesia, vol. 63, Cornell University Southeast Asia Program, 1997.
Locher-Scholten, Elsbeth. Women and the Colonial State. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië, Kitab Oendang-Oendang Hoekoeman bagi Hindia-Belanda, Balai Pustaka, 1921


Hukum Islam secara tegas mengatur tentang hak-hak seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, diantaranya adalah pemberian nafkah iddah selama 3 bulan sejak terjadinya perceraian serta mut’ah sebagai bekal hidup istri setelah diceraikan. Pasal 41 huruf (c) UU Perkawinan memberikan hak kepada Pengadilan untuk menetukan kewajiban seorang suami kepada mantan istri dan anaknya pasca perceraian. Secara khusus, Pasal 149 KHI memberikan kewajiban kepada suami setelah adanya talak berupa mut’ah, nafkah iddah, mahar bila masih terhutang, serta biaya hadhanah untuk anak yang belum berusia 12 tahun.

Sebelum Hukum Islam berlaku secara normatif yuridis di Indonesia atau sebelum diberlakukannya UU No. 1989 tentang Peradilan Agama, Pemerintah Indonesia telah berusaha mencoba melindungi hak-hak istri yang diceraikan meski hanya terbatas di lingkungan Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia memberlakukan PP no. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Khusus untuk perceraian, PP ini mengatur bahwa seorang PNS harus mendapat izin dari atasannya untuk melakukan perceraian dan adanya hak istri serta anaknya atas gajinya sebagai PNS. Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bila terjadi perceraian, gaji yang bersangkutan akan dibagi tiga bagian sama rata untuk yang bersangkutan, istri dan anaknya, dan bila tidak mempunyai anak maka akan dibagi dua bagian bersama dengan istrinya. Pembagian ini berlaku sejak terjadi perceraian hingga mantan istrinya menikah lagi.

Bila meninjau secara sosiologis, PP no. 10 tahun 1983 menjadi wadah yang kuat untuk mengawasi dan menjamin hak seorang istri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus sebagai PNS. Namun, pembagian gaji yang diberlakukan hingga mantan istri menikah lagi menjadi sebuah problematika tersendiri bila ditinjau secara yuridis, khususnya dari perspektif Hukum Islam. Hukum Islam mengatur pemberian nafkah iddah hanya ditentukan selama 3 bulan dan mut’ah hanya hingga mantan istri dapat hidup mandiri atau hanya sekitar 1 tahun setelah perceraian selama ia belum menikah. Pasal 8 PP ini telah jauh melampaui batas yang telah ditentukan dalam Hukum Islam, sehingga tidak dapat diterapkan secara tekstual. 

Sebagai solusi alternatif penerapan PP no. 10 tahun 1983, tercermin dalam Kesimpulan Komisi II (Hukum Perdata Agama) Hasil Rapat Kerja Nasional antara Mahkamah Agung RI dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Tertentu dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia tahun 2003 di Bandung tanggal 14 s.d 19 September 2003, Bagian III B tentang Penerapan PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 pada angka 4 yang menyatakan bahwa “Penerapan PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 yang menyangkut pembagian gaji kepada isteri yang diceraikan diterapkan dengan pemberian mut’ah sesuai kepatutan, kelayakan dan kemampuan suami serta dibayar sekaligus”. Dalam artian, hak-hak istri yang diatur dalam PP ini secara kontekstual tetap terjaga, tetapi tidak dengan membagi gaji mantan suami dan dibayarkan per-tanggal gajian, melainkan melalui pembebanan mut’ah kepada mantan suami dan dibayar sekaligus.

PP no. 10 tahun 1983 pada saat ini secara umum tetap diterapkan hanya sebagai syarat administratif dan tidak bersifat absolut. SEMA nomor 5 Tahun 1984 tanggal 17 April 1984 menyatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 6 bulan untuk memperoleh izin dari atasannya. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Nomor : 106 K/AG/1997 tanggal 22 September 1997 PP menyatakan no. 10 tahun 1983 merupakan aturan administrasi kepegawaian dan bukan merupakan kewenangan badan peradilan, sehingga tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan. Secara tegas, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 11 K/AG/2001 Tanggal 10 Juli 2003 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bukan merupakan hukum acara Peradilan Agama, karena pemberian ½ gaji Tergugat kepada Penggugat merupakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. 

Pada dasarnya, mantan istri masih mempunyai hak meskipun telah diceraikan suaminya. Namun, hak ini tidak boleh melampaui kemampuan mantan suami atau bahkan menciderai hak-hak mantan suami. PP no. 10 tahun 1983 pada dasarnya bertujuan baik, tetapi memerlukan perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembangan hukum dan sesuai dengan hukum islam bagi yang beragama Islam pada khususnya.


Kesepakatan cerai adalah kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukumnya, baik terhadap pembagian harta bersama dan pengasuhan anak.

Pada dasarnya, Hukum Perdata menganut prinsip kebebasan dalam membuat kontrak kesepakatan. Artinya, setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuk, isi, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Hukum Perdata dalam hal perjanjian, mengandung asas Pacta Sunt Servanda, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya dilindungi secara hukum. Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal 1340 KUH Perdata juga menyatakan “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.

Hukum di Indonesia mengandung asas Lex specialis derogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Khusus untuk masalah perkawinan, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 66 UU Perkawinan dengan jelas menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang Undang Perkawinan ini, maka segala ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata (B.W), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain dinyatakan tidak berlaku.

Masalah perceraian diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan serta Pasal 115 KHI, dimana perceraian hanya dapat dilakukan di di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Secara rinci, Pasal 129 dan 132 KHI menjelaskan bahwa suami yang hendak menjatuhkan talak cerai kepada istrinya, atau istri yang hendak menggugat cerai suaminya, harus mengajukan permohonan/gugatan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama. Merujuk pada pasal ini, maka perceraian dinyatakan sah hanya apabila dilakukan di depan Majelis Hakim dan atas dasar putusan Pengadilan, bukan karena adanya kesepakatan suami dan istri di luar pengadilan.

Secara formil, sebuah perjanjian harus menganut asas kepatutan, dimana para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral. Pasal 139 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. 

Proses perceraian juga diwajibkan  melalui proses pemeriksaan di persidangan, tidak serta-merta terjadi karena kesepakatan suami dan istri, seperti tertuang dalam Pasal 208 KUH Perdata. Perkara perceraian karena perselisihan dan pertengkaran, Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 134 KHI mewajibkan untuk memperjelas sebab-sebab perselisihan tersebut setelah mendengar keterangan dari pihak keluarga. Yurispurdensi MA nomor 863 K/Pdt/1990 tanggal 28 Nopember 1991 dalam abstrak hukum turut menegaskan bahwa perceraian tidak hanya didasarkan pada adanya pengakuan dan/atau adanya kesepakatan saja, karena dikhawatirkan timbulnya kebohongan besar (de grote langen)".

Berdasarkan beberapa peraturan di atas, maka kesepakatan perceraian dan akibatnya, meskipun berbentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, dapat dinyatakan tidak sah secara formil. Hal ini karena kesepakatan tersebut tidak memenuhi asas kepatutan, tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada, dan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Secara materil, karena perceraian yang sah hanya terjadi di depan persidangan, maka perceraian yang terjadi karena akta kesepakatan dinyatakan tidak sah, dan perceraian tersebut dianggap tidak pernah terjadi secara hukum. Selama perceraian tidak berdasarkan putusan pengadilan, meskipun telah membuat kesepatan, keduanya masih terikat perkawinan yang sah dan masih menjadi suami istri dengan segala hak dan kewajibannya. Akibat ke-tidak sah-nya perceraian tersebut, maka akibat perceraian yang termaktub dalam kesepakatan turut tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum.


Syiqaq secara bahasa berasa bermakna perselisihan. Menurut Rasyid Ridha, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Manan, Syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, yang bisa terjadi karena istri nusyuz atau karena suami melakukan kekerasan terhadap istri.

Fakrurrazi dalam tafsirnya menakwilkan syiqaq sebagai situasi dimana masing-masing pihak baik suami maupun istri saling berselisih dan saling memusuhi. Perselisihan terjadi secara dua arah dari kedua belah pihak, bukan hanya dari pihak suami atau hanya dari pihak istri. Pendapat Fakhrurrazi ini seperti pendapat At-Ṭabari dalam tafsirnya, dimana perselisihan terjadi diantara keduanya, bukan dari salah satu pihak.

Sayid Sabiq mengkategorikan perkara syiqaq sebagai sub-bagian dari pembahasan tentang keadaan nusyuz suami terhadap istri, dimana istri dapat meminta cerai dari suaminya. Menurut Wahbah Zuhaili, Syiqaq adalah perselisihan parah antara suami istri, karena keduanya tidak lagi saling menghormati satu sama lain. Ia menghubungkan perkara syiqaq dengan keadaan darurat (ḍarar) dari suami yang membahayakan istri, baik secara fisik maupun psikis.

Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 secara eksplisit menyebutkan, syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri. Abdul Manaf memaknai Syiqaq sebagai perselisihan dan pertengkaran antara suami istri dan tidak ada harapan untuk kembali hidup rukun, selaras dengan Pasal 19 huruf f PP No, 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI. Pendapat di atas senada dengan pendapat Abdullah Berahim yang memaknai Syiqaq sebagai perselisihan antara suami dan istri yang tidak ditemukan solusinya, dan tidak adanya titik terang yang dapat merukunkan kembali dalam rumah tangga harmonis dan bahagia.

Merujuk pada makna secara terminologi, syiqaq mempunyai tiga indikator makna yang saling berkaitan: (1) perselisihan parah dan sulit untuk didamaikan kembali, yang (2) terjadi secara timbal balik diantara suami dan istri, serta (3) telah menimbulkan keadaan darurat yang membahayakan, khususnya bagi istri.

Pada tahun 1974, lahir UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 38 UU ini memuat alasan putusnya perkawinan, yaitu kematian, perceraian, atau atas putusan Pengadilan. Alasan perceraian secara spesifik kemudian dicantumkan pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 19 menyatakan ada enam alasan penyebab perceraian, salah satunya (poin f) adalah “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

19 tahun kemudian, kata syiqaq ditemukan dalam Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, arti syiqaq dalam penjelasan Pasal 76 serupa dengan penyebab perceraian pada Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975. Pasal ini kemudian tidak berubah meskipun UU tentang Peradilan Agama telah mengalami perubahan sebanyak dua kali pada tahun 2006 dan 2011.

Pada tahun 1991, terbit Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Khusus alasan perceraian pada Pasal 116, KHI menambahkan dua poin dari enam alasan perceraian yang dimuat dalam PP No. 9 tahun 1975. Pembahasan mengenai perkara syiqaq tidak ditemukan dalam KHI.

Tahun 2006 Mahkamah Agung memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/32/SK/IV/2006, yang kemudian direvisi pada tahun 2010 dan 2013. Buku II dengan jelas menyatakan perkara syiqaq adalah perkara berbeda dari perkara gugatan cerai dengan alasan perselisihan antara suami istri.

Secara eksplisit, syiqaq hanya terdapat pada Pasal 76 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Secara implisit, bila meninjau dari arti syiqaq pada Penjelasan Pasal 76 UU No. 7 tahun 1989, maka syiqaq sejatinya telah terdapat pada Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI.

Pasal 79 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 mewajibkan untuk mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga dalam proses pemeriksaan syiqaq, seperti halnya Pasal 134 KHI yang mewajibkan keterangan pihak keluarga serta orang-orang terdekat dalam proses pemeriksaan gugatan cerai karena perselisihan dan pertengkaran pada Pasal 116 huruf f KHI. Kaitan ini melahirkan hipotesa bahwa yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f KHI adalah syiqaq.

Pedoman Buku II yang lahir kemudian seolah menegaskan bahwa syiqaq adalah jenis perkara tersendiri, sekaligus membantah hipotesa bahwa syiqaq hanya merupakan salah satu penyebab perceraian. Secara teoretis, perkara syiqaq terlepas dari perkara gugatan cerai dan segala alasannya, serta sederajat dengan jenis perkara cerai talak, cerai gugat, talak khuluk, li’an, dan lain sebagainya.


Referensi
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, revisi 2013. Mahkamah Agung RI, 2014
Berahim, Abdullah. Syiqaq dalam Teori Fiqih, Oke, tapi Bagaimana Praktiknya Di Pengadilan Agama?, Situs Badilag Mahkamah Agung.
Fakhruddīn, Muhammad Ar-Rāzī. Tafsir Al-Fakhrirrāzī, Juz 10. Beirut: Dār El-Fikri, 1981.
Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana, 2016.
Sābiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah, jilid II. Beirut: Dār El-Fikri, 1983.
Aṭ-Ṭabarī, Tafsīr Aṭ-Ṭabarī. Qāhirah: Maktabah Ibn Taimiyah.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, juz VII. Damaskus: Dār el-Fikri, 1985.


Literatur Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution membagi masa pemikiran politik Islam ke dalam tiga bagian, masa klasik (622-1250), pertengahan (1250-1800), dan modern (1800 hingga sekarang). Bila meminjam klasifikasi waktu di atas, tokoh pemikir politik pada masa klasik di antaranya adalah Farabi, Mawardi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Taimiyah.

Meskipun sering dikatakan sebagai tokoh politik, para tokoh tersebut ternyata berangkat dari berbagai latar belakang dengan disiplin ilmu yang berbeda. Farabi dikenal sebagai seorang filsuf, berlatar madzhab Syi’ah. Mawardi merupakan seorang ahli fiqh bermadzhab Syafi’i, sekaligus seorang hakim. Ibnu Taimiyah juga seorang hakim, guru, pemimpin pergerakan, dengan bekal fiqh bermadzhab Hambali. Ibnu Khaldun bila ditarik pada masa kini mungkin dapat dikatakan sebagai seorang “akademisi”. Berbeda dengan pendahulunya yang terkenal karena posisi strategis, ajaran, fatwa, dan gerakan, Ibnu Khaldun lebih dikenal karena karya tulisnya yang fenomenal,  termasuk otobiografi-nya yang ditulis sendiri.

Pemikiran sosio-politik adalah salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mempertemukan mereka. Farabi menuangkan pemikiran politiknya ke dalam karya tulis berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah, Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Ibnu Taimiyah dengan karyanya As-Siyasah As-Syar’iyah, serta Ibnu Khaldun dalam pembukaan (Muqaddimah) buku sejarahnya.

Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya adalah siklus/tahapan generasi suatu negara. Secara garis besar Ibnu Khaldun membagi suatu negara kedalam tiga tahapan:
  1. Generasi awal sebagai generasi pembangun, berangkar dari suatu ikatan “primitif” yang terjalin karena adanya dorongan untuk bertahan hidup dan berkembang.
  2. Generasi kedua merupakan generasi penjaga sekaligus pengembang cita-cita generasi awal, pada tahapan ini biasanya suatu negara mencapai masa keemasan.
  3. Generasi kehancuran, tahap ini terjadi akibat hilangnya ikatan “primitif”, digantikan oleh egoisme diri dan keserakahan.
Kutipan ini menjadi menarik bila diterapkan untuk membahas pemikiran politik para pendahulu Ibnu Khaldun; Farabi, Mawardi, dan Ibnu Taimiyah.

Farabi sebagai tokoh di awal masa pemerintahan Islam pasca Khulafa Ar-Rasyidin cenderung berkutat pada pemikiran filosofis sebuah negara ideal, berangkat dari pemikiran filosofi Yunani tentang “negara kota", yang dikolaborasikan dengan “Negara Madinah”-nya Nabi Muhammad. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, “Ikatan primitif mayarakat” digambarkan Farabi seperti organ tubuh manusia, dimana kesemuanya berjalan dinamis sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Melewati beberapa dekade setelah Farabi, pemikiran politik Islam berkembang dan tidak lagi hanya berkutat di sisi ideologis-filosofis. Karya Mawardi menunjukkan adanya usaha berpolitik pada tataran praktik, buah dari pemikiran fiqh Mawardi dan keadaan sosial politik di lingkungan sekitarnya. Sekedar catatan tambahan, Mawardi hidup pada masa kejayaan Dinasti ‘Abbasiyah, sekaligus masa awal proses kehancuran dinasti tersebut. (lihat: Bangsa Mongol dan Kehancuran Baghdad)

Ibnu Taimiyah bisa dikatakan sebagai tokoh yang merasakan tahap ketiga teori Ibnu Khaldun; kehancuran. Kehidupan Ibnu Taimiyah dilatarbelakangi oleh suasana chaos setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal ini tampak dari sub-judul karyanya: “fi islahir ra’i war ra’iyah (untuk memperbaiki pemimpin dan rakyatnya), bukan hanya rakyat saja yang menjadi fokus Ibnu Taimiyah, tetapi sekaligus pemimpinnya. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini lahir dari pengamatannya terhadap para penguasa di akhir masa Dinasti Abbasiyah yang menurutnya hanya dikuasai oleh golongan tertentu.

Simpulan dari pembahasan singkat di atas adalah konsep politik Farabi, Mawardi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun berangkat dari keadaan sosial di masing-masing zaman dimana mereka hidup. Farabi hidup di zaman di masa giat penerjemahan karya-karya asing khususnya Yunani ke dalam Bahasa Arab, hingga ia di juluki sebagai "Guru Kedua setelah Aristoteles". Mawardi seorang hakim agung di masa kejayaan 'Abbasiyah, konsep politiknya pun tidak jauh berbeda dengan sistem politik 'Abbasiyah pada masanya. Ibnu Taimiyah mengkritisi sebagian konsep politik Mawardi, berdasarkan pengamatan Ibnu Taimiyah terhadap kegagalan pemerintahan 'Abbasiyah. Ibnu Khaldun yang hidup setelahnya kemudian berusaha untuk menyimpulkan kondisi sosio-politik Islam melalui buku sejarahnya.


Karya Tulis, bukan Karya Ilmiah
Originalitas dan Independensi menjadi masalah besar bila menilik kedalam pemikiran Farabi, Mawardi, Ibnu Taimiyah, bahkan Ibnu Khaldun. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran politik Farabi sangat dipengaruhi oleh pemikiran politik filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. “Kebahagiaan” sebagai tujuan hidup bernegara Plato dan Aristoles, oleh Farabi dilengkapi dengan “Kebahagiaan di dunia dan di akhirat”. Konsep “Negara Kota” dari Yunani dikembangkan Farabi sehingga melahirkan konsep “Al-Madinah Al-Fadilah (Negara/kota utama)”.

Menelaah kata pengantar Mawardi dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyah”, secara jelas tertulis karya tersebut disusun atas permintaan salah satu penguasa Dinasti Abbasiyah. Permintaan serupa turut terjadi pada karya Ibnu Taimiyah, buku As-Siyasah As-Syar’iyah ditulis atas permintaan gubernur di wilayah Arab saat itu, Qais Al-Mansuri. “Permintaan Penguasa” menjadi pintu masuk untuk mempertanyakan objektivitas Mawardi dan Ibnu Taimiyah dalam menyusun karyanya. Muhammad Iqbal menyebut ini sebagai usaha “legitimasi status quo”.

Disiplin ilmu menjadi masalah tersendiri bagi karya Ibnu Khaldun. Meski bertajuk “Tarekh Ibn Khaldun (Sejarah Ibn Khaldun)”, tetapi bagian pertama (Muqaddimah) dari delapan jilid buku ini memuat beberapa disiplin ilmu yang berbeda. Ibnu Khaldun menuangkan seluruh pemikirannya dalam bagian ini, baik agama, sosial, ekonomi, politik, dan termasuk sejarah.

Mempedebatkan “keilmiahan” karya para tokoh ini pada hakikatnya ibarat mencari eksistensi smartphone di zaman Einstein. Istilah “ilmiah” dan klasifikasi disiplin ilmu lahir beberapa abad setelah era “klasik”ini, maka tidak mengherankan penyandang status “Bapak Sosiologi” jatuh ke tangan August Comte, bukan pada Ibnu Khaldun, hanya karena Comte lebih fokus dari segi disiplin ilmu. Pola keilmuan era klasik cenderung berangkat dari satu titik tertentu, kemudian berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan corak keilmuan barat yang hanya fokus pada disiplin tertentu, entah bertujuan untuk menciptakan ahli yang benar-benar ahli di bidangnya, atau menggambarkan ketidakmampuan mereka menguasai berbagai bidang ilmu layaknya para tokoh Islam zaman klasik.

Cakra Donya, peninggalan kerajaan Samudera Pasai (viva.co.id)

Sejarah penyebaran Islam di Indonesia berbeda dengan penyebaran Islam di tanah Arab pada masa awal Rasulullah dan Kekhalifahan. Sebagian penguasa disekitar Makkah-Madinah masuk Islam pasca menerima surat dari Rasulullah, atau pasca mengalami kekalahan dengan pasukan khalifah, yang kemudian diikuti oleh mayoritas pengikutnya. Di Indonesia sendiri agama Islam menyebar dari golongan masyarakat biasa, dikenalkan oleh para pedagang Arab-China-India Muslim. Setelah agama Islam menjadi agama mayoritas penduduk disebuah tempat, entah karena kesadaran diri atau kerena adanya motif politik, para penguasa lokal kemudian ikut memeluk ajaran agama Islam. Dari sinilah kemudian komunitas Islam terbentuk, hingga menjadi sebuah kekuatan politik.

Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama, tercatat dalam sejarah Indonesia pada tahun 1275. Mayoritas sejarawan meyakini bahwa berdirinya Kerajaan Samudra Pasai hanya sebagai tonggak perkembangan kekuatan politik Islam di Indonesia, tetapi bukan awal mula masuknya Islam di Indonesia. Meskipun para sejarawan belum menemukan titik temu mengenai kapan dan bagaimana tepatnya Islam masuk ke wilayah Indonesia.

Teori Gujarat merupakan teori paling mainstream yang tersebar hampir di seluruh pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Indonesia. Teori ini dibawa oleh sarjanawan Belanda, C. Snouck Hurgronje. Dijelaskan bahwa Islam masuk melalui suatu tempat di India yang bernama Gujarat. Ajaran Islam kemudian dibawa oleh para pedagang India dan diterima oleh Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13, dari sinilah kemudian Islam terus menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.

Teori Hurgronje ini sangat bertentangan dengan teori Hamka tentang proses berdirinya Kerajaan Samudra Pasai. Catatan Hamka menjelaskan bahwa Samudra Pasai Islam terbentuk dari proses panjang. Samudra Pasai tidak serta-merta didirikan oleh seorang raja Islam dan kemudian diikuti oleh pengikutnya, tetapi terbentuk karena Islam telah tersebar dan menjadi agama mayoritas di pantai utara Sumatera, hingga menjadi agama turun-temurun. Terbentuknya Kerajaan Samudra Pasai turut didukung oleh runtuhnya kerajaan Budha, Sriwijaya, yang pada masa jayanya menguasai hampir seluruh pulau Sumatera.

Perbedaan Madzhab juga turut dipermasalahkan oleh Hamka. Menurut catatan Ibnu Batutah, Islam di Kerajaan Samudra Pasai menganut Madzhab Syafi'i, berbeda dengan muslim Gujarat yang menganut Madzhab Syi'ah. Fakta ini dijadikan landasan dasar oleh Hamka untuk menolak teori Hurgronje.

Hamka menilai masuknya Islam di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M, dibawa oleh para pedagang Makkah. Hamka mengungkap fakta bahwa utusan Arab telah berkunjung ke pulau Jawa pada tahun 675 M, dan pada tahun 684 M telah berdiri koloni orang Arab di Sumatera bagian barat. Penyebaran Islam ini terjadi karena dominasi orang Arab dalam bidang perdagangan dan kelautan di lautan Hindia, Melayu dan Tiongkok pada abad ke-7,8 dan 9 M, jauh sebelum kaum Portugis pada abad ke-15.

Teori Maritim turut dikembangkan oleh N.A. Baloch, seorang sejarawan Pakistan. Ajaran Islam dikenalkan oleh para pedagang Arab di sekitar jalur niaga, antara lain India, Indonesia hingga Tiongkok dalam rentang abad ke- 7-12 M. Penyebaran Islam di Indonesia menurut Baloch dimulai dari Acah pada abad ke-9 M, dan pada abad ke-13 terus tersebar luas hingga ke daerah pedalaman.

Suryanegara dalam literaturnya mengutip beberapa tulisan tentang masuknya Islam di Indonesia. Nukhbat ad-Dahr, sebuah karya Ar-Rabwah menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak masa Khalifah Utsman bin Affan, 644-656. M. J.C. van Leur dalam literaturnya Indonesian Trade and Society, serta T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam, berdasarkan sumber berita dari Dinasti Tang - China, menyatakan bahwa pada tahun 674 di pantai barat Sumatera telah terdapat hunian Arab-Islam. Dari dalam negeri sendiri, dalam literatur Buchari mencatat telah ditemukan Nisan seorang Ulama, Syaikh Mukaiddin di Baros, yang bertuliskan 48 Hijriah, atau sekitar tahun 670 M.


Referensi
Hamka, Buya. Sejarah Umat Islam; Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara. Jakarta: Gema Insani, 2016
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah, jilid I. Cet. II. Bandung: Surya Dinasti, 2015