Kedudukan PP No. 10 Tahun 1983 dalam Perkara Perceraian


Hukum Islam secara tegas mengatur tentang hak-hak seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, diantaranya adalah pemberian nafkah iddah selama 3 bulan sejak terjadinya perceraian serta mut’ah sebagai bekal hidup istri setelah diceraikan. Pasal 41 huruf (c) UU Perkawinan memberikan hak kepada Pengadilan untuk menetukan kewajiban seorang suami kepada mantan istri dan anaknya pasca perceraian. Secara khusus, Pasal 149 KHI memberikan kewajiban kepada suami setelah adanya talak berupa mut’ah, nafkah iddah, mahar bila masih terhutang, serta biaya hadhanah untuk anak yang belum berusia 12 tahun.

Sebelum Hukum Islam berlaku secara normatif yuridis di Indonesia atau sebelum diberlakukannya UU No. 1989 tentang Peradilan Agama, Pemerintah Indonesia telah berusaha mencoba melindungi hak-hak istri yang diceraikan meski hanya terbatas di lingkungan Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia memberlakukan PP no. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Khusus untuk perceraian, PP ini mengatur bahwa seorang PNS harus mendapat izin dari atasannya untuk melakukan perceraian dan adanya hak istri serta anaknya atas gajinya sebagai PNS. Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bila terjadi perceraian, gaji yang bersangkutan akan dibagi tiga bagian sama rata untuk yang bersangkutan, istri dan anaknya, dan bila tidak mempunyai anak maka akan dibagi dua bagian bersama dengan istrinya. Pembagian ini berlaku sejak terjadi perceraian hingga mantan istrinya menikah lagi.

Bila meninjau secara sosiologis, PP no. 10 tahun 1983 menjadi wadah yang kuat untuk mengawasi dan menjamin hak seorang istri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus sebagai PNS. Namun, pembagian gaji yang diberlakukan hingga mantan istri menikah lagi menjadi sebuah problematika tersendiri bila ditinjau secara yuridis, khususnya dari perspektif Hukum Islam. Hukum Islam mengatur pemberian nafkah iddah hanya ditentukan selama 3 bulan dan mut’ah hanya hingga mantan istri dapat hidup mandiri atau hanya sekitar 1 tahun setelah perceraian selama ia belum menikah. Pasal 8 PP ini telah jauh melampaui batas yang telah ditentukan dalam Hukum Islam, sehingga tidak dapat diterapkan secara tekstual. 

Sebagai solusi alternatif penerapan PP no. 10 tahun 1983, tercermin dalam Kesimpulan Komisi II (Hukum Perdata Agama) Hasil Rapat Kerja Nasional antara Mahkamah Agung RI dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Tertentu dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia tahun 2003 di Bandung tanggal 14 s.d 19 September 2003, Bagian III B tentang Penerapan PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 pada angka 4 yang menyatakan bahwa “Penerapan PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 yang menyangkut pembagian gaji kepada isteri yang diceraikan diterapkan dengan pemberian mut’ah sesuai kepatutan, kelayakan dan kemampuan suami serta dibayar sekaligus”. Dalam artian, hak-hak istri yang diatur dalam PP ini secara kontekstual tetap terjaga, tetapi tidak dengan membagi gaji mantan suami dan dibayarkan per-tanggal gajian, melainkan melalui pembebanan mut’ah kepada mantan suami dan dibayar sekaligus.

PP no. 10 tahun 1983 pada saat ini secara umum tetap diterapkan hanya sebagai syarat administratif dan tidak bersifat absolut. SEMA nomor 5 Tahun 1984 tanggal 17 April 1984 menyatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 6 bulan untuk memperoleh izin dari atasannya. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Nomor : 106 K/AG/1997 tanggal 22 September 1997 PP menyatakan no. 10 tahun 1983 merupakan aturan administrasi kepegawaian dan bukan merupakan kewenangan badan peradilan, sehingga tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan. Secara tegas, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 11 K/AG/2001 Tanggal 10 Juli 2003 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bukan merupakan hukum acara Peradilan Agama, karena pemberian ½ gaji Tergugat kepada Penggugat merupakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. 

Pada dasarnya, mantan istri masih mempunyai hak meskipun telah diceraikan suaminya. Namun, hak ini tidak boleh melampaui kemampuan mantan suami atau bahkan menciderai hak-hak mantan suami. PP no. 10 tahun 1983 pada dasarnya bertujuan baik, tetapi memerlukan perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembangan hukum dan sesuai dengan hukum islam bagi yang beragama Islam pada khususnya.