Sekilas tentang Pemikiran Politik Islam Klasik


Literatur Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution membagi masa pemikiran politik Islam ke dalam tiga bagian, masa klasik (622-1250), pertengahan (1250-1800), dan modern (1800 hingga sekarang). Bila meminjam klasifikasi waktu di atas, tokoh pemikir politik pada masa klasik di antaranya adalah Farabi, Mawardi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Taimiyah.

Meskipun sering dikatakan sebagai tokoh politik, para tokoh tersebut ternyata berangkat dari berbagai latar belakang dengan disiplin ilmu yang berbeda. Farabi dikenal sebagai seorang filsuf, berlatar madzhab Syi’ah. Mawardi merupakan seorang ahli fiqh bermadzhab Syafi’i, sekaligus seorang hakim. Ibnu Taimiyah juga seorang hakim, guru, pemimpin pergerakan, dengan bekal fiqh bermadzhab Hambali. Ibnu Khaldun bila ditarik pada masa kini mungkin dapat dikatakan sebagai seorang “akademisi”. Berbeda dengan pendahulunya yang terkenal karena posisi strategis, ajaran, fatwa, dan gerakan, Ibnu Khaldun lebih dikenal karena karya tulisnya yang fenomenal,  termasuk otobiografi-nya yang ditulis sendiri.

Pemikiran sosio-politik adalah salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mempertemukan mereka. Farabi menuangkan pemikiran politiknya ke dalam karya tulis berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah, Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Ibnu Taimiyah dengan karyanya As-Siyasah As-Syar’iyah, serta Ibnu Khaldun dalam pembukaan (Muqaddimah) buku sejarahnya.

Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya adalah siklus/tahapan generasi suatu negara. Secara garis besar Ibnu Khaldun membagi suatu negara kedalam tiga tahapan:
  1. Generasi awal sebagai generasi pembangun, berangkar dari suatu ikatan “primitif” yang terjalin karena adanya dorongan untuk bertahan hidup dan berkembang.
  2. Generasi kedua merupakan generasi penjaga sekaligus pengembang cita-cita generasi awal, pada tahapan ini biasanya suatu negara mencapai masa keemasan.
  3. Generasi kehancuran, tahap ini terjadi akibat hilangnya ikatan “primitif”, digantikan oleh egoisme diri dan keserakahan.
Kutipan ini menjadi menarik bila diterapkan untuk membahas pemikiran politik para pendahulu Ibnu Khaldun; Farabi, Mawardi, dan Ibnu Taimiyah.

Farabi sebagai tokoh di awal masa pemerintahan Islam pasca Khulafa Ar-Rasyidin cenderung berkutat pada pemikiran filosofis sebuah negara ideal, berangkat dari pemikiran filosofi Yunani tentang “negara kota", yang dikolaborasikan dengan “Negara Madinah”-nya Nabi Muhammad. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, “Ikatan primitif mayarakat” digambarkan Farabi seperti organ tubuh manusia, dimana kesemuanya berjalan dinamis sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Melewati beberapa dekade setelah Farabi, pemikiran politik Islam berkembang dan tidak lagi hanya berkutat di sisi ideologis-filosofis. Karya Mawardi menunjukkan adanya usaha berpolitik pada tataran praktik, buah dari pemikiran fiqh Mawardi dan keadaan sosial politik di lingkungan sekitarnya. Sekedar catatan tambahan, Mawardi hidup pada masa kejayaan Dinasti ‘Abbasiyah, sekaligus masa awal proses kehancuran dinasti tersebut. (lihat: Bangsa Mongol dan Kehancuran Baghdad)

Ibnu Taimiyah bisa dikatakan sebagai tokoh yang merasakan tahap ketiga teori Ibnu Khaldun; kehancuran. Kehidupan Ibnu Taimiyah dilatarbelakangi oleh suasana chaos setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal ini tampak dari sub-judul karyanya: “fi islahir ra’i war ra’iyah (untuk memperbaiki pemimpin dan rakyatnya), bukan hanya rakyat saja yang menjadi fokus Ibnu Taimiyah, tetapi sekaligus pemimpinnya. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini lahir dari pengamatannya terhadap para penguasa di akhir masa Dinasti Abbasiyah yang menurutnya hanya dikuasai oleh golongan tertentu.

Simpulan dari pembahasan singkat di atas adalah konsep politik Farabi, Mawardi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun berangkat dari keadaan sosial di masing-masing zaman dimana mereka hidup. Farabi hidup di zaman di masa giat penerjemahan karya-karya asing khususnya Yunani ke dalam Bahasa Arab, hingga ia di juluki sebagai "Guru Kedua setelah Aristoteles". Mawardi seorang hakim agung di masa kejayaan 'Abbasiyah, konsep politiknya pun tidak jauh berbeda dengan sistem politik 'Abbasiyah pada masanya. Ibnu Taimiyah mengkritisi sebagian konsep politik Mawardi, berdasarkan pengamatan Ibnu Taimiyah terhadap kegagalan pemerintahan 'Abbasiyah. Ibnu Khaldun yang hidup setelahnya kemudian berusaha untuk menyimpulkan kondisi sosio-politik Islam melalui buku sejarahnya.


Karya Tulis, bukan Karya Ilmiah
Originalitas dan Independensi menjadi masalah besar bila menilik kedalam pemikiran Farabi, Mawardi, Ibnu Taimiyah, bahkan Ibnu Khaldun. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran politik Farabi sangat dipengaruhi oleh pemikiran politik filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. “Kebahagiaan” sebagai tujuan hidup bernegara Plato dan Aristoles, oleh Farabi dilengkapi dengan “Kebahagiaan di dunia dan di akhirat”. Konsep “Negara Kota” dari Yunani dikembangkan Farabi sehingga melahirkan konsep “Al-Madinah Al-Fadilah (Negara/kota utama)”.

Menelaah kata pengantar Mawardi dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyah”, secara jelas tertulis karya tersebut disusun atas permintaan salah satu penguasa Dinasti Abbasiyah. Permintaan serupa turut terjadi pada karya Ibnu Taimiyah, buku As-Siyasah As-Syar’iyah ditulis atas permintaan gubernur di wilayah Arab saat itu, Qais Al-Mansuri. “Permintaan Penguasa” menjadi pintu masuk untuk mempertanyakan objektivitas Mawardi dan Ibnu Taimiyah dalam menyusun karyanya. Muhammad Iqbal menyebut ini sebagai usaha “legitimasi status quo”.

Disiplin ilmu menjadi masalah tersendiri bagi karya Ibnu Khaldun. Meski bertajuk “Tarekh Ibn Khaldun (Sejarah Ibn Khaldun)”, tetapi bagian pertama (Muqaddimah) dari delapan jilid buku ini memuat beberapa disiplin ilmu yang berbeda. Ibnu Khaldun menuangkan seluruh pemikirannya dalam bagian ini, baik agama, sosial, ekonomi, politik, dan termasuk sejarah.

Mempedebatkan “keilmiahan” karya para tokoh ini pada hakikatnya ibarat mencari eksistensi smartphone di zaman Einstein. Istilah “ilmiah” dan klasifikasi disiplin ilmu lahir beberapa abad setelah era “klasik”ini, maka tidak mengherankan penyandang status “Bapak Sosiologi” jatuh ke tangan August Comte, bukan pada Ibnu Khaldun, hanya karena Comte lebih fokus dari segi disiplin ilmu. Pola keilmuan era klasik cenderung berangkat dari satu titik tertentu, kemudian berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan corak keilmuan barat yang hanya fokus pada disiplin tertentu, entah bertujuan untuk menciptakan ahli yang benar-benar ahli di bidangnya, atau menggambarkan ketidakmampuan mereka menguasai berbagai bidang ilmu layaknya para tokoh Islam zaman klasik.