Hegemoni Wahabi dalam Kerajaan Arab Saudi


Arab mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Arab merupakan tanah tempat turunnya wahyu pertama, pusat dari penyebaran Islam ke seluruh pelosok. Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an dan bahasa dalam beribadah bagi umat muslim. Di Arab pulalah berdiri kokoh Ka’bah yang menjadi tujuan dan cita-cita seluruh kaum muslimin. Pembahasan mengenai Islam di Jazirah Arab merupakan pembahasan yang sangat panjang, karena dari sanalah Islam lahir dan berkembang hingga saat ini, khususnya ketika proklamasi kemerdekaan kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932.

Kerajaan Arab Saudi di proklamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tanggal 23 September 1932. Banyak terjadi peristiwa kontroversial yang berkaitan dengan Negara ini sejak masa pembentukannya hingga sekarang, diantaranya hubungan kerja sama Arab Saudi-Inggris pada masa penjajahan untuk menghancurkan kerajaan Turki Utsmani dan Mesir, peraturan-peraturan negara yang banyak dikritik oleh kaum feminis, berkembangnya paham Wahabi yang oleh sebagian orang dianggap sesat, dan lain sebagainya.

Dinasti Sa’ud dan Kerajaan Arab Saudi
Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah merupakan sebuah negara yang berbentuk kerajaan dengan bentuk pemerintahan monarki mutlak Islam. Negara ini diplokamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa'ud pada tanggal 23 September 1932, dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah Syari’at Islam yang didasarkan pada paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Arab Saudi merupakan negara terbesar di Asia timur tengah dengan luas 2.240.000 km², dan terbentang di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Negara ini mempunyai 13 provinsi yang disebut dengan manatiq, 13 provinsi tersebut adalah: Bahah, Hududusy Syamaliyah, Jauf, Madinah, Qasim, Riyadh, Syarqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), 'Asir, Ha'il, Jizan, Makkah, Najran, danTabuk.

Kerajaan Arab Saudi modern seperti yang kita kenal seperti pada saat ini merupakan sebuah kerajaan bani Sa’udiyah yang dirintis oleh Abdul Aziz As-Sa’ud atau yang lebih dikenal dengan Ibn Saud setelah Ia menaklukan Riyadh. Ibnu Sa’ud merupakan seorang pemimpin kharismatik, pemberani, terhormat, bahkan dikenal dengan kekejamannya pada saat-saat tertentu. Pada masa-masa menjelang perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud lebih memilih bekerja sama dengan Inggris. Sehingga pada than 1915 ia mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Inggris yang dengannya diakuinya eksistensi dan kemerdekaan negara Saudi. Hal ini dilakukan Inggris karena mereka menilai masa depan Ibnu Sa’ud akan jauh lebih baik dari pada penguasa Hijaz, Husain bin Ali.

Berkat perjanjian di atas, setelah perang dunia Inggris mengakui kemerdekaan Arab Saudi. Setelah menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi untuk meruntuhkan rezim Ibnu Sa’ud, Ia memplokamirkan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932. Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud kemudian melarang segala bentuk gerakan politik yang sebelumnya diperbolehkan.

Paham Wahabi dan Pendirinya
Gerakan ajaran ini dinamakan berdasarkan pendirinya Muhammad Bin 'Abd-al-Wahab Bin Sulayman yang lahir di ‘Uyainah, Najd tahun 1703 dari keluarga penganut madzhab Hanbali. Muhammad ibn Abdul Wahab merupakan pengagum sosok Ibnu Taimiyah, Ia banyak mendapatkan banyak pelajaran mengenai hukum dan Hadist dari beberapa syaikh, di antaranya 'Abdullah bin Ibrahim bin Sina, Hassan Al-Tamimi, Hasan AI-Islambuli, Zayn-al-Din Al-Mughrabi, Sulaiman Al-Kurdi, 'Abd-al-Karim Al-Kurdi, dan Sheikh 'Ali Al-Daghistani.

Perjalanan hidup Muhammad ibn Abdul Wahab banyak mengalami penolakan terhadap pemikiran-pemikiran yang diyakininya. Pada masa kecilnya di ‘Uyainah, Ia mengutarakan ide-ide yang tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat, sehingga Ia berpindah ke Makkah, Madinah, Najd, dan tinggal di Basra selama beberapa saat. Di Basra, Ia kembali diusir dan pada akhirnya Muhammad ibn Abdul Wahab menetap bersama ayahnya di kota Huraymillah, Nejd. Ia mendapatkan kritikan serta kecaman keras dari Ayahnya dan masyarakat sekitar akibat pemikirannya yang dianggap konservatif pada saat itu. Ketika ayahnya meninggal, Ia mengalami ancaman pembunuhan sehingga Ia kembali lagi berpindah tempat ke ‘Uyainah. Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, ajaran Muhammad ibn Abd al-Wahhab banyak menimbulkan keributan dan perlawanan dari ulama-ulama setempat, hingga pada akhirnya Amir ‘Uyaynah memerintahkan Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya untuk meninggalkan kota tersebut. Muhammad ibn Abdul Wahab kemudian berpindah ke Dir’iyah dan bertemu dengan penguasa setempat, Muhammad bin Sa’ud.

Hubungan Awal Dinasti Sa’ud dan Paham Wahabi
Pada awalnya, keluarga Sa’ud hanya sebuah keluarga yang menguasai daerah kecil sebagaimana keluarga-keluarga lainnya di jazirah Arab. Sejarah Keluarga Sa’ud berawal pada tahun 1727, ketika Muhammad bin Sa’ud menjadi hakim di Dir’iyah dan memutuskan untuk bersekutu dengan Muhammad ibn Abdul Wahab pada tahun 1744. Sejak saat itu, keluarga Sa’ud menjadi pendukung utama gerakan wahabi dan ikut menyebarkan ajaran yang dibawanya. Gerakan Wahabi ini pada mulanya telah tersebar di daerah ‘Uyainah, tetapi kemudian tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

Persekutuan Sa’udiyah – Wahabiyah ini menjadi suatu kekuatan baru di dunia Arab, baik dari segi politik maupun dari segi spritual. Ajaran Wahabi berkembang dan menjadi ideologi pemersatu kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah kekuasaan Ibn Sa’ud. Dengan semangat memurnikan kembali ajaran Islam, mereka berusaha untuk melawan suku-suku disekitarnya sekaligus menyebarkan ajaran Wahabi. Di lain sisi, daerah kekuasaan Ibn Sa’ud semakin meluas.

Salah satu faktor berkembangnya paham Wahabi di Jazirah Arab ini karena ketertinggalan mereka dalam masalah Agama. Hal ini disadari oleh para ulama-ulama yang belajar di Damaskus kemudian kembali ke Nejd, mereka menilai para masyarakat muslim di Jazirah Arab sangat tertinggal diantaranya dengan banyaknya jumlah kaum muslimin yang buta huruf dan berkehidupan mengembara seperti pada masa Jahiliyah. Oleh karena itu, Muhammad Ibnu Abdul Wahab kemudian berusaha untuk mengajarkan ilmu pengetahuan baru dan membawa beberapa perubahan-perubahan yang masih sangat awam bagi masyarakat Arab.

Hal ini mendapat dukungan penuh dari Muhammad bin Sa’ud dan bersama mereka berusaha membangun peradaban dan dinasti baru di Jazirah Arab. Mereka kemudian mulai berusaha mengembalikan nilai-nilai suci Islam dengan menghancurkan berhala-berhala yang mulai berkembang, menghancurkan bangunan-bangunan yang disucikan diatas kuburan, dan salah satu perubahan yang dapat dirasakan sampai sekarang adalah menyatukan pelaksanaan shalat di Hijaz. Telah menjadi tradisi, shalat jama’ah dilakukan empat kali dalam setiap shalat berdasarkan empat madzhab yang berkembang saat itu, hal ini kemudian dihapuskan oleh Sa’ud.

Di samping itu, ternyata perluasan wilayah oleh dinasti Sa’ud juga memperoleh dukungan dari ajaran Wahabi tentang Jihad. Muhammad Ibnu Abdul Wahab menilai jihad perlu dilakukan untuk tiga hal; pertama ketika bertemu dengan pasukan kafir, kedua ketika pasukan kafir mendekati wilayah kaum muslimin, dan ketiga ketika jihad dirasa oleh Imam ataupun pemimpin perlu dilakukan. Hal ini tentu sangat mendukung dinasti Sa’ud untuk memperluas wilayah kekuasaannya, disamping itu pula membantu Wahab untuk memperluas paham dan ajaran yang dibawanya.

Setelah kemunduran yang dialami oleh dinasti Sa’ud yang pertama, penyebaran ajaran Wahabi seakan ikut terhenti. Hal ini didasari karena wilayah jazirah Arab kembali dikuasai oleh Daulah Utsmaniyah, dan dengan bantuan Irak mereka berusaha untuk membendung gerakan Wahabi. Kerja sama ini pun tidak lepas dari kepentingan politik Turki dan Irak untuk melawan ekspansi Rusia.

Pada masa awal pembentukan Kerajaan Arab Saudi Modern, Ibnu Sa’ud pun berusaha merangkul para ulama dan pengikut Wahabi. Telah dijelaskan diatas bahwa Ibnu Sa’ud membangun sebuah organisasi Al-Ikhwan dan memberi suntikan bantuan untuk membiayai kehidupan mereka. Kebijakan ini berhasil menarik simpati dan dukungan kaum Wahabi pada Ibnu sa’ud. Ia kemudian mulai memerangi gerakan anti-Wahabi dan menggantikan ulama-ulama lokal dengan para syekh Wahabi. Sebaliknya Wahabi mengeluarkan fatwa-fatwa yang menguntungkan Ibnu Sa’ud, diantarnya fatwa mati terhadap Ibnu Umar karena menentang pemerintah dan ingin meruntuhkan pemimpin yang sah.

Paham Wahabi yang diajarkan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab kemudian berkembang menjadi salah satu faktor pendorong kemajuan Dinasti Sa’ud. Sebaliknya, dinasti Sa’ud merupakan bagian dari pelopor penyebaran ajaran Wahabi di jazirah Arab. Dua kekuatan ini dapat saling melengkapi satu sama lain sehingga membentuk suatu kekuatan besar di Asia Timur Tengah.

Perkembangan Paham Wahabi di Negara Arab Saudi
Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi pada mulanya hanya terdiri dari keluarga Kerajaan, pemimpin suku-suku Arab, penasihat non-arab, keturunan tokoh terhormat, serta pemuka paham Wahabi. Pada tahun 1950-an, pemerintah Arab Saudi mengembangkan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mengatur bidang-bidang tertentu, seperti ekonomi, peertanian, pendidikan, minyak bumi, dan keuangan. Hal ini kemudian mempengaruhi seluruh aspek kehidupan di Arab Saudi, paham sekularisme berangsur-angsur menyebar dikalangan pemerintah dan masyarakat, serta membuat perbedaan antara budaya Wahabi dan teknokrat.

Arab Saudi menjadi lebih berkembang dengan bentuk administrasi modern, paham-paham nasionalis-sekuralis menjadi dominan dalam pemerintahan. Pemerintah membuka hubungan luar negeri dalam pengelolaan minyak, sehingga terjadinya migrasi pekerja dari negara lain. Migrasi ini berdampak pada berdirinya wilayah-wilayah pemukiman terpisah antara pekerja asal Amerika, Italia, dan Arab. Dikotomi tempat tinggal antara warga pendatang dan warga asli menciptakan perbedaan suku, agama, dan ras yang sangat kontras, disamping itu para buruh Arab Saudi merasa didiskriminasi dengan rendahnya upah yang diberikan. Perbedaan ini kemudian memicu demonstrasi buruh Arab secara besar-besaran terhadap pemerintahan, yang pada puncaknya terjadi pada tahun 1953.

Berdasarkan peristiwa ini, pemerintah Arab Saudi mengecam ideologi asing seperti nasionalis dan sekuralis yang masuk ke wilayahnya. Arab Saudi kemudian mengambil langkah-langkah untuk membentengi pengaruh asing terhadap budaya kerajaan, serta membentengi kepentingan politik terhadap agama. Langkah tersebut antara lain dengan membatasi mahasiswa yang ingin ke luar negeri, pengusiran penduduk Asing, dan mendirikan lembaga pembuat keputusan. Pada tahun 1957 Riyadh melarang perempuan untuk mengendarai kendaraan.

Modernisasi pemerintahan Arab Saudi juga berpengaruh kepada lembaga keagamaan. Lembaga Keagamaan Formal didirikan dengan asumsi dapat mengurangi kekuasaan para ulama Wahabi. Tetapi lembaga ini justru semakin menguatkan pengaruh Wahabi di Arab Saudi, dengan terpilihnya Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdul Latif. Wahabi kemudian menjadi golongan estate dan menjadi agama penguasa. Beberapa prestasinya antara lain membuat undang-undang tertulis berdasarkan madzhab Hambali, dan dengan dukungan pemerintah, Ia mendirikan sekolah khusus perempuan pada tahun 1960 dan Universitas Madinah untuk mengimbagi paham sekularisme di Universitas Riyadh pada tahun 1961.

Arah Pendidikan di Arab Saudi dapat dibagi dalam dua periode; periode sebelum 11 September 2001 dan periode setelahnya. Periode sebelum 11 September 2001 lebih fokus kepada kebijakan, pengeluaran, angka melek huruf, jumlah sekolah, guru, dan siswa. Sementara setelah peristiwa 11 Sepetmber 2001, pendidikan di Arab Saudi cenderung kepada penanaman paradigma bahwa tragedi WTC merupakan hasil pendidikan di Arab, pendalaman teks mengenai kebencian terhadap non-muslim, serta pengambilan sumber dari jaringan Al-Qaeda.

Materi pendidikan di Arab Saudi sangat beragam apabila dibandingkan dengan negara non-Arab Saudi. Materi pelajaran Bahasa Arab, Pengetahuan Umum, Matematika, dan Hukum menggunakan buku pelajaran standar sebagaimana yang dapat ditemui di negara-negara Muslim lainnya. Tetapi untuk bidang-bidang tertentu seperti Theologi menggunakan kitab karangan Muhammad ibn Abdul Wahab, tafsir al-Qur’an menggunakan kitab karangan Ibn Kathir, al-Baghawi, al-Baydawi dan al-Tabari, bidang yurisprudensi menggunakan kitab karangan Ibn Qudama dan al-Hujawi, dan dalam bidang polemik menggunakan kitab Abdullatif ibn Abd al-Rahman dan Abdullah ibn Aba Butayn.

Setelah kematian Muhammad ibn Ibrahim pada tahun 1969, pemerintah membentuk Departemen Kehakiman. Langkah ini merupakan bentuk formal untuk urusan yang selama ini jatuh di bawah otoritas kepemimpinan Wahhabi. Departemen Kehakiman yang semula diberi kewenangan luas atas kehidupan beragama dipilah menjadi beberapa bagian. Dewan Ulama Senior dan Direktorat Penelitian Agama, Fatwa, Propaganda dan Bimbingan diberi kewenangan untuk mengeluarkan fatwa, Kementerian Haji dan Wakaf Agama mengambil alih pengawasan pengurus masjid seperti Imam dan Khatib, dan pendidikan anak perempuan diserahkan ke lembaga lain.pembagian kekuasaan ini ternyata tidak menghilangkan atau bahkan mengurangi pengaruh Wahhabisme dalam kehidupan publik di Arab Saudi.

Penutup
Beberapa hal yang menjadi catatan penulis adalah:
  1. Keluarga Sa’ud dan Wahabi merupakan suatu dwi-tunggal yang saling melengkapi satu sama lain yang pada akhirnya bersatu dan tumbuh menjadi suatu kekuatan besar. Hal ini terlihat dari latar belakang keluarga Sa’ud yang hanya menguasai wilayah-wilayah kecil di Jazirah Arab, begitu pula dengan kehidupan Muhammad ibn Abdul Wahab yang selalu ditolak oleh masyarakat setempat.
  2. Arab Saudi menurut penulis, pada hakikatnya bukan sebuah negara agama. Kerajaan Arab Saudi merupakan Negara Sekuler, dimana keluarga kerajaan hanya menjadi bagian dari pemerintahan, sementara urusan agama secara tidak langsung diserahkan kepada ulama-ulama Wahabi.
  3. Pemerintahan Arab Saudi tidak dapat memisahkan pengaruh paham Wahabi dari wilayahnya. Selain latar belakang sejarah diantara keduanya, paham Wahabi telah tersebar ke seluruh aspek kehidupan masyarakat Arab Saudi, baik politis, kultural, dan intelektual.
  4. Salah satu faktor kemenangan bani Sa’ud dan konsistensinya paham Wahabi adalah hegemoni total yang diterapkan di kerajaan tersebut, disamping itu mereka tetap berusaha mempertahankan hegemoni tersebut dengan membentengi masyarakat dari pengaruh kehidupan dan pemikiran asing.





Daftar Pustaka
Al- 'Amiri, Sa'id Mahmud Najm. The Emergence of AI-Wahhabiyyah Movement and its Historical Roots, Iraq: DIA, 2009.
Ar-Rasyid, Madawi. A History of Saudi Arabia. London: Cambridge University Press.
Commins, David. The Wahabi Mission in Saudi Arabia. London: I.B. Tauris, 2006.
Wynbrant, James. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.