Akta Kesepakatan Cerai dalam UU Perkawinan


Kesepakatan cerai adalah kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukumnya, baik terhadap pembagian harta bersama dan pengasuhan anak.

Pada dasarnya, Hukum Perdata menganut prinsip kebebasan dalam membuat kontrak kesepakatan. Artinya, setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuk, isi, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Hukum Perdata dalam hal perjanjian, mengandung asas Pacta Sunt Servanda, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya dilindungi secara hukum. Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal 1340 KUH Perdata juga menyatakan “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.

Hukum di Indonesia mengandung asas Lex specialis derogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Khusus untuk masalah perkawinan, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 66 UU Perkawinan dengan jelas menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang Undang Perkawinan ini, maka segala ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata (B.W), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain dinyatakan tidak berlaku.

Masalah perceraian diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan serta Pasal 115 KHI, dimana perceraian hanya dapat dilakukan di di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Secara rinci, Pasal 129 dan 132 KHI menjelaskan bahwa suami yang hendak menjatuhkan talak cerai kepada istrinya, atau istri yang hendak menggugat cerai suaminya, harus mengajukan permohonan/gugatan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama. Merujuk pada pasal ini, maka perceraian dinyatakan sah hanya apabila dilakukan di depan Majelis Hakim dan atas dasar putusan Pengadilan, bukan karena adanya kesepakatan suami dan istri di luar pengadilan.

Secara formil, sebuah perjanjian harus menganut asas kepatutan, dimana para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral. Pasal 139 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. 

Proses perceraian juga diwajibkan  melalui proses pemeriksaan di persidangan, tidak serta-merta terjadi karena kesepakatan suami dan istri, seperti tertuang dalam Pasal 208 KUH Perdata. Perkara perceraian karena perselisihan dan pertengkaran, Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 134 KHI mewajibkan untuk memperjelas sebab-sebab perselisihan tersebut setelah mendengar keterangan dari pihak keluarga. Yurispurdensi MA nomor 863 K/Pdt/1990 tanggal 28 Nopember 1991 dalam abstrak hukum turut menegaskan bahwa perceraian tidak hanya didasarkan pada adanya pengakuan dan/atau adanya kesepakatan saja, karena dikhawatirkan timbulnya kebohongan besar (de grote langen)".

Berdasarkan beberapa peraturan di atas, maka kesepakatan perceraian dan akibatnya, meskipun berbentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, dapat dinyatakan tidak sah secara formil. Hal ini karena kesepakatan tersebut tidak memenuhi asas kepatutan, tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada, dan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Secara materil, karena perceraian yang sah hanya terjadi di depan persidangan, maka perceraian yang terjadi karena akta kesepakatan dinyatakan tidak sah, dan perceraian tersebut dianggap tidak pernah terjadi secara hukum. Selama perceraian tidak berdasarkan putusan pengadilan, meskipun telah membuat kesepatan, keduanya masih terikat perkawinan yang sah dan masih menjadi suami istri dengan segala hak dan kewajibannya. Akibat ke-tidak sah-nya perceraian tersebut, maka akibat perceraian yang termaktub dalam kesepakatan turut tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum.