Syiqaq & Landasan Hukumnya


Syiqaq secara bahasa berasa bermakna perselisihan. Menurut Rasyid Ridha, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Manan, Syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, yang bisa terjadi karena istri nusyuz atau karena suami melakukan kekerasan terhadap istri.

Fakrurrazi dalam tafsirnya menakwilkan syiqaq sebagai situasi dimana masing-masing pihak baik suami maupun istri saling berselisih dan saling memusuhi. Perselisihan terjadi secara dua arah dari kedua belah pihak, bukan hanya dari pihak suami atau hanya dari pihak istri. Pendapat Fakhrurrazi ini seperti pendapat At-Ṭabari dalam tafsirnya, dimana perselisihan terjadi diantara keduanya, bukan dari salah satu pihak.

Sayid Sabiq mengkategorikan perkara syiqaq sebagai sub-bagian dari pembahasan tentang keadaan nusyuz suami terhadap istri, dimana istri dapat meminta cerai dari suaminya. Menurut Wahbah Zuhaili, Syiqaq adalah perselisihan parah antara suami istri, karena keduanya tidak lagi saling menghormati satu sama lain. Ia menghubungkan perkara syiqaq dengan keadaan darurat (ḍarar) dari suami yang membahayakan istri, baik secara fisik maupun psikis.

Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 secara eksplisit menyebutkan, syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri. Abdul Manaf memaknai Syiqaq sebagai perselisihan dan pertengkaran antara suami istri dan tidak ada harapan untuk kembali hidup rukun, selaras dengan Pasal 19 huruf f PP No, 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI. Pendapat di atas senada dengan pendapat Abdullah Berahim yang memaknai Syiqaq sebagai perselisihan antara suami dan istri yang tidak ditemukan solusinya, dan tidak adanya titik terang yang dapat merukunkan kembali dalam rumah tangga harmonis dan bahagia.

Merujuk pada makna secara terminologi, syiqaq mempunyai tiga indikator makna yang saling berkaitan: (1) perselisihan parah dan sulit untuk didamaikan kembali, yang (2) terjadi secara timbal balik diantara suami dan istri, serta (3) telah menimbulkan keadaan darurat yang membahayakan, khususnya bagi istri.

Pada tahun 1974, lahir UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 38 UU ini memuat alasan putusnya perkawinan, yaitu kematian, perceraian, atau atas putusan Pengadilan. Alasan perceraian secara spesifik kemudian dicantumkan pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 19 menyatakan ada enam alasan penyebab perceraian, salah satunya (poin f) adalah “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

19 tahun kemudian, kata syiqaq ditemukan dalam Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, arti syiqaq dalam penjelasan Pasal 76 serupa dengan penyebab perceraian pada Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975. Pasal ini kemudian tidak berubah meskipun UU tentang Peradilan Agama telah mengalami perubahan sebanyak dua kali pada tahun 2006 dan 2011.

Pada tahun 1991, terbit Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Khusus alasan perceraian pada Pasal 116, KHI menambahkan dua poin dari enam alasan perceraian yang dimuat dalam PP No. 9 tahun 1975. Pembahasan mengenai perkara syiqaq tidak ditemukan dalam KHI.

Tahun 2006 Mahkamah Agung memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/32/SK/IV/2006, yang kemudian direvisi pada tahun 2010 dan 2013. Buku II dengan jelas menyatakan perkara syiqaq adalah perkara berbeda dari perkara gugatan cerai dengan alasan perselisihan antara suami istri.

Secara eksplisit, syiqaq hanya terdapat pada Pasal 76 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Secara implisit, bila meninjau dari arti syiqaq pada Penjelasan Pasal 76 UU No. 7 tahun 1989, maka syiqaq sejatinya telah terdapat pada Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI.

Pasal 79 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 mewajibkan untuk mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga dalam proses pemeriksaan syiqaq, seperti halnya Pasal 134 KHI yang mewajibkan keterangan pihak keluarga serta orang-orang terdekat dalam proses pemeriksaan gugatan cerai karena perselisihan dan pertengkaran pada Pasal 116 huruf f KHI. Kaitan ini melahirkan hipotesa bahwa yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f KHI adalah syiqaq.

Pedoman Buku II yang lahir kemudian seolah menegaskan bahwa syiqaq adalah jenis perkara tersendiri, sekaligus membantah hipotesa bahwa syiqaq hanya merupakan salah satu penyebab perceraian. Secara teoretis, perkara syiqaq terlepas dari perkara gugatan cerai dan segala alasannya, serta sederajat dengan jenis perkara cerai talak, cerai gugat, talak khuluk, li’an, dan lain sebagainya.


Referensi
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, revisi 2013. Mahkamah Agung RI, 2014
Berahim, Abdullah. Syiqaq dalam Teori Fiqih, Oke, tapi Bagaimana Praktiknya Di Pengadilan Agama?, Situs Badilag Mahkamah Agung.
Fakhruddīn, Muhammad Ar-Rāzī. Tafsir Al-Fakhrirrāzī, Juz 10. Beirut: Dār El-Fikri, 1981.
Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana, 2016.
Sābiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah, jilid II. Beirut: Dār El-Fikri, 1983.
Aṭ-Ṭabarī, Tafsīr Aṭ-Ṭabarī. Qāhirah: Maktabah Ibn Taimiyah.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, juz VII. Damaskus: Dār el-Fikri, 1985.